Senin, 05 Oktober 2015

HARI PANGAN SEDUNIA: Petani Pejuang Pangan dan Gizi Bangsaku

Artikel Lomba Hari Pangan Sedunia 2015 diselenggarakan PERGIZI PANGAN Indonesia



Tahun ini Sumatera Selatan mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah peringatan Hari Pangan Sedunia tingkat nasional ke-35. Momen ini diperingati setiap 16 Oktober, bertepatan dengan tanggal terbentuknya FAO, organisasi pangan sedunia. Selama 5 hari acara akan digelar di Jakabaring Sport City, Palembang, dengan acara puncak berlangsung pada 16 Oktober 2015. Diharapkan adanya ini dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat serta stakeholder di Indonesia dan dunia terhadap pentingnya penyediaan pangan yang cukup dan bergizi. Sebagai salah satu anggota Food and Agriculture Organization (FAO), sejak 1981, setiap tahun Indonesia memperingatinya. Hari Pangan Sedunia terlahir atas prakarsa dari Dr. Pal Romany, ketua delegasi Hongaria, kemudian dideklarasikan oleh negara-negara anggota FAO pada konferensi umum ke-20 November 1979 dan ditetapkan melalui Resolusi PBB No.1/1979 di Roma, Italia.


Melirik Kembali Potensi Pangan dan Gizi Indonesia di Hari Pangan Sedunia


Tempe, salah satu pangan kaya gizi
Sumber: twitter Pergizi


Pangan dan gizi sangat penting bagi suatu bangsa dan sekaligus bisa mendukung ketahanan nasional. Menengok bahwa Indonesia merupakan negara agraris sekaligus negara maritim, keanekaragaman hayatinya meraih peringkat ke-2 di dunia. Keanekaragaman hayati ini terdiri dari 800 spesies tumbuhan pangan,  lebih dari 1000 spesies tumbuhan medicinal, ribuan spesies mikroalga, serta perikanan laut dan darat yang kaya. Selain itu, Indonesia memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26  jenis kacang-kacangan, 389  jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, serta 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan (Sumber: Dr. Suhardi, 2000 dalam http://www.persma-agrica.com/sastra/kemandirian-pangan-syarat-mutlak-bagi/ ). Betapa kaya Indonesia sehingga disebut Gemah Ripah Loh Jinawi (kekayaan alamnya berlimpah). Begitu subur tanahnya sehingga Koes Plus bilang Tongkat, Kayu, dan Batu (bisa) jadi Tanaman. Atau hutannya yang begitu hijau laksana Zamrud Khatulistiwa. Dengan modal ini seharusnya Indonesia tidak bermasalah dengan pangan dan gizi. Lalu, mengapa kemandirian pangan belum tercapai? Tak lain karena pengembangannya belum optimal, termasuk dari sisi petani sebagai pengolahnya. Kesadaran bahwa petani tulang punggung pangan dan gizi bangsaku masih kurang. Jasa mereka sering dilupakan; padahal ketersediaan, kecukupan, keamanan, dan gizi pangan bergantung padanya. Petani pejuang pangan dan gizi bangsaku, sekaligus juga petani hidup dan mati bangsaku. Bertani bukanlah pekerjaan rendahan. Negara sangat membutuhkan jasa mereka untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya.


Hari Pangan Sedunia dan Mimpi Indonesia Menuju Swasembada Pangan

Presiden Jokowi mencanangkan pengembangan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Untuk mensukseskannya, perlu dipahami bahwa petani tulang punggung pangan dan gizi bangsaku, karena keduanya berkaitan. Membanjirnya produk impor dapat mengancam ketahanan pangan nasional berbasis sumber daya lokal. Rupiah yang terus melemah terhadap dolar dapat meningkatkan beban impor. Beban ini harus diturunkan agar perekonomian dan daya beli masyarakat pulih. Untuk menurunkan impor dan mencukupi ketersediaan pangan maka produksi pangan harus ditingkatkan. Ini penting karena kedaulatan suatu negara bergantung pada kemampuannya dalam mencukupi kebutuhan pangan rakyat. Ketersediaan pangan adalah pilar utama pembangunan nasional dan identik dengan ketahanan nasional. Sehubungan dengan itu, pembangunan ketahanan pangan masyarakat dinilai sebagai kebijakan strategis. Jika ketahanan pangan terganggu akan timbul gejolak sosial dan politik yang mengganggu stabilitas ekonomi, politik, atau stabilitas nasional. Contohnya pada krisis moneter 1998 lalu di mana meroketnya harga beras berkembang menjadi krisis multidimensi. Ini bukti bahwa mahalnya harga bahan pangan bisa berimbas kepada kemiskinan. Benarlah kiranya perkataan dari Presiden Soekarno, “Pangan adalah urusan hidup-mati suatu bangsa”. 

Presiden Jokowi mentargetkan tercapainya swasembada beras, jagung, dan kedelai pada 2015 serta gula dan daging sapi pada 2019. Tidak tanggung-tanggung, jika target tidak tercapai maka Menteri Pertanian (Mentan) hingga direksi perusahaan BUMN di sektor pertanian akan diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Mentan sendiri menganggap pencapaian program ini masih akan terkendala oleh banyaknya irigasi yang rusak dan pupuk oplosan, minimnya serapan benih tahun lalu, kurang memadainya alat pertanian, dan kurangnya penyuluh pertanian. Pertanian dan petani itu sendiri memang perlu mendapat perhatian serius agar swasembada beras bisa tercapai seperti di tahun 1985-1988. Apalagi melihat kondisi pertanian Indonesia saat ini di mana:

1.  Lahan pertanian makin berkurang karena telah beralih fungsi
Pertumbuhan penduduk yang pesat membutuhkan lahan-lahan baru sebagai tempat pemukiman, industri, dan sebagainya. Di sisi lain kebutuhan pangan mereka juga meningkat, artinya membutuhkan lahan pertanian lebih banyak. Akhirnya terjadilah persaingan antara kebutuhan lahan untuk pertanian dengan non pertanian. Lahan pertanian menjadi makin berkurang. Maraknya alih fungsi lahan tersebut kemudian menyebabkan kenaikan harga pangan dan arus urbanisasi serta hilangnya lapangan kerja bagi petani. Masalah-masalah ini membutuhkan diterapkannya peraturan daerah dengan lebih tegas.

Sawah di dekat rumah saya, kini telah hilang karena konversi lahan
(Gambar milik pribadi)

2.  Banyak lahan pertanian tidak subur lagi, mengalami kekeringan atau krisis air bersih.
Tanah sehat merupakan landasan produksi pangan yang sehat. Tanah yang seperti ini dapat menyediakan nutrisi penting, air, oksigen dan menunjang akar, serta melindungi akar tanaman yang peka terhadap perubahan temperatur yang drastis.

3.  Banyak petani yang beralih pekerjaan, entah karena lahan sudah tidak ada/buruk kondisinya ataupun karena tingkat kesejahteraan mereka yang rendah.
Tercapainya target swasembada pangan ditanggapi berbagai pihak dengan pro dan kontra. Pada swasembada gula misalnya, Guru besar ilmu ekonomi pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, memandangnya mustahil. Dalam 10 tahun terakhir produksi gula masih lambat, sedang langkah pemerintah baru sebatas perbaikan irigasi, sementara para stakeholder masih mempertahankan kepentingan masing-masing. Sebaliknya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil dan wakil presiden Jusuf Kalla menganggapnya mungkin. Arum Sabil optimis bahwa swasembada gula dapat terwujud jika pemerintah serius memperbaiki kebijakan serta rajin merevitalisasi dan membangun pabrik gula; sedangkan Jusuf Kalla memandang swasembada akan tercapai jika kebersihan pabrik dan kualitas bibit diperbaiki serta rendaman ditingkatkan. 


 
Swasembada daging sapi, salah satu target swasembada pangan Indonesia
(Gambar milik pribadi)

Untuk swasembada daging sapi, pernah diupayakan pada 2009-2014, namun gagal. Disinyalir penyebabnya adalah kesalahan dalam menghitung kebutuhan daging nasional. Kini, ketika program serupa kembali digulirkan, Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bustanul Arifin, menyikapinya dengan pesimis. Menurutnya, kondisi itu baru dapat terwujud di tahun 2024. Hal itu disebabkan karena impor sapi masih di atas 50 persen, tidak terjadi peningkatan populasi sapi lokal, tidak adanya subsidi dan insentif untuk peternak sapi lokal, serta kurang terorganisirnya petani sapi. Sementara itu, di tengah kesimpangsiuran angka kebutuhan daging nasional, Mentan malah memotong importasi dari 60% menjadi 10% untuk mengikuti standar swasembada dari FAO. Di sisi lain, dominannya praktik rentseeking dan kartel membuat kebijakan dan tata laksana impor sapi juga melemah. Akan lebih baik jika dilakukan perbaikan pada pengelolaan dan tata niaga sapi dalam negeri dan hanya memandang impor sebagai solusi jangka pendek.


Hari Pangan Sedunia, Saat Tepat untuk Mencari Solusi Masalah Swasembada Pangan di Indonesia

Target swasembada pangan dari presiden masih terkendala banyak hal. Di tahun ini misalnya, telah terjadi kebakaran hutan, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan kekeringan. Kekeringan yang disebabkan karena kemarau, perubahan iklim, El Nino, dan krisis air bersih kini melanda berbagai wilayah di Indonesia. Apalagi, El Nino tahun ini lebih kuat dari tahun 1998. Tanaman bisa puso, mati, atau menurun kualitasnya. Selain itu, produksi pangan nasional dan pendapatan petani bisa menurun, harga bahan-bahan pangan dan kemiskinan meningkat, serta inflasi dan impor terstimulasi. Jika kegagalan tanam dan panen terjadi maka stok pangan selama 2 periode masa tanam akan terganggu.

El Nino tahun ini diperkirakan berakhir Oktober. Setidaknya 8 provinsi telah terkena dampaknya, yaitu NTB, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara. Meski demikian produksi pangan diperkirakan cukup karena ditopang oleh daerah-daerah yang tidak terdampak, misalnya Kalimantan Timur. Sebagai antisipasi, lahan rawa lebak akan dioptimalkan dan diubah menjadi lumbung pangan. Lama dan tinggi genangan lahan tersebut menurun saat musim kemarau sehingga potensinya meningkat. Kondisi ini membuatnya potensial untuk ditanami, seperti yang terdapat pada Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Lampung dan Kalimantan Selatan.

Kekeringan bisa mengancam terwujudnya swasembada pangan, bahkan menyebabkan krisis pangan. Petani jadi sulit mengakses sumber air. Kalaupun ada, debitnya sedikit. Biasanya solusi pemerintah adalah membangun waduk dan jaringan irigasi atau mengirim pompa air. Akan tetapi, jika sumber mata airnya tidak ada, waduk dan jaringan irigasi akan sulit beroperasi. Lagipula penggunaan pompa air akan menyedot banyak air tanah. Akibatnya, kekeringan dan krisis air makin parah dan diikuti dengan berbagai dampak negatif lainnya. Untuk menurunkan dampak ini diperlukan kerja sama antara kementerian pertanian dengan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan.

Meski terkendala banyak hal, swasembada pangan bisa diupayakan dengan cara berikut:
1.    Meningkatkan produksi pangan, yaitu dengan membangun dan memperbaiki irigasi, mengatur distribusi pupuk dan benih, memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut, mengoptimalkan lahan tidur/tidak produktif, memperbaiki teknologi, menggalakkan riset, menerapkan bioperforasi, menindak tegas mafia pangan, mendorong perikanan budidaya, disertai dengan kebijakan pemerintah yang mendukung.
2.    Pemupukan berimbang dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR), agar lahan rawa dapat dimanfaatkan menjadi lahan pertanian di musim kemarau.
3.    Mengembangkan pupuk hayati biotara dan biosure untuk menyuburkan lahan pertanian.
4.    Menggunakan benih padi varietas IPB 3S.
5.    Pengadaan bantuan pertanian melalui penunjukan langsung.
6.    Mencegah penanaman pangan di areal existing (area yang sudah ditanam).
7.    Meningkatkan anggaran pertanian daerah agar produksi pertaniannya meningkat.
8.    Melibatkan semua stakeholder dalam produksi pangan seperti Bulog, TNI, dan petani.
9.    Meneruskan Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) yang telah dilaksanakan sejak 2011, yaitu untuk meningkatkan produktivitas di lahan hutan wilayah Perum Perhutani dengan sistem tumpang sari dan lahan milik anggota LMDH.
10.    Menetapkan musim tanam dan mengawasi pelaksanaannya oleh petani.


(Gambar milik pribadi)

Saat ini pemerintah berusaha meningkatkan produksi pangan, menciptakan pangan berbahan baku lokal, dan melakukan diversifikasi pangan untuk mencapai kedaulatan pangan. Kedaulatan ini bisa dimulai dari kemandirian pangan keluarga lalu meningkat ke skala di atasnya, misalnya sekeluarga makan dari hasil pekarangannya. Kuncinya adalah upaya mensejahterakan petani dengan memiliki lahan produktif dan menjamin keadilan sistem perdagangan. Agar kedaulatan cepat terwujud diperlukan tambahan lahan dan subsidi petani, sedangkan untuk mencapai kemandirian pangan diperlukan optimalisasi sumber daya lokal dan upaya untuk memajukan industri gula. Jika kualitas dan kuantitas produksi gula lokal naik dan industri gula bisa berjaya seperti tahun 1929, maka ancaman melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS bukan masalah.

Terwujudnya kedaulatan, kemandirian, dan keamanan pangan dapat memperkuat tercapainya ketahanan pangan. Di dalam UU RI No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan,  ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang didukung oleh ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Di dalamnya terkandung 4 komponen utama, yaitu:
1.    Terpenuhinya kebutuhan pangan.
2.    Kestabilan persediaan pangan dari musim ke musim.
3.    Keterjangkauan harga pangan oleh setiap lapisan masyarakat, agar tersebar merata.
4.    Kualitas dan keamanan mutu pangan yang baik serta dapat dikonsumsi.

Ada berbagai cara untuk mendukung tercapainya ketahanan pangan, yaitu memberi bantuan pupuk dan alat pertanian kepada petani, memaksimalkan produksi lahan pertanian, memberdayakan penyuluh pertanian, memandirikan petani, gerakan 100% pangan lokal, diversifikasi pangan, menjaga tanah, menerapkan pertanian alami tanpa bahan kimia, mengurangi jarak tempuh makanan dan berfokus pada makanan segar, mengembalikan tanah kepada petani, melakukan program One Day No Rice (diganti pangan lokal non beras), dan adanya lembaga pengelola impor bahan pangan yang tegas.


Hari Pangan Sedunia: Meneliti Kebijakan Impor yang Ada

Sampai batas waktu target swasembada yang ditetapkan, pemerintah masih banyak mengandalkan impor untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Terutama jika permintaan tetap ada sementara produksi pangan dalam negeri kurang. Pasar membutuhkan pasokan yang cukup agar harga terkendali. Menutup impor secara drastis malah bisa melonjakkan harga pangan dan menyebabkan inflasi. Sembari menuju swasembada pangan penurunan impor perlu diimbangi dengan peningkatan produksi pangan. Selain itu, untuk meredam potensi lonjakan harga pangan dan mengamankan kepastian pembelian hasil petani perlu dibentuk cadangan pangan di tingkat pusat hingga desa. Cadangan ini akan dilepas ke pasar jika terjadi keadaan darurat atau gejolak harga. Adanya cadangan pangan negara beserta adanya data kecukupan atau kekurangan produksi yang akurat adalah kunci dari stabilitas harga. Data yang tidak akurat sangat berdampak pada solusi masalah ketersediaan, distribusi, dan harga pangan. Secara langsung atau tidak, impor akan terpengaruh. Jadi, jika ingin meningkatkan produksi pangan atau menurunkan impor benahi dulu keakuratan datanya.

Kebijakan impor harus diambil dengan hati-hati agar terhindar dari kartel pangan atau over suplai. Over suplai seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi lebih rendah dibanding biaya produksi sehingga membuatnya merugi dan berhenti bertani. Akibatnya, ketahanan pangan nasional menjadi rapuh. Bukan hanya itu, mengandalkan impor untuk ketersediaan komoditas pangan domestik cederung berisiko tinggi dan membuat diversifikasi pangan terabaikan.


Kesejahteraan Petani, Kunci Suksesnya Pemberdayaan Petani di Hari Pangan Sedunia ke-35 Tingkat Nasional di Indonesia


(Gambar milik pribadi)

Petani sebagai tonggak hidup dan mati bangsa harus lebih diperhatikan kesejahteraannya. Di tengah mahalnya harga pangan ternyata kualitas hidup mereka semakin terpuruk. Harga naik berkali lipat hanya di tingkat pedagang, sementara di tingkat petani tetap sangat murah. Padahal, petani yang dekat dengan sumber pangan harusnya dapat menikmati kondisi tingginya harga pangan. Berdasarkan Nilai Tukar Petani (NTP) tingkat kesejahteraan petani semakin lama malah semakin menurun, dari 105,2% (2012) menjadi 102% (2014). Keberadaan pengepul telah menyebabkan disparitas tinggi antara harga di tingkat petani/produsen dengan di tingkat konsumen. Seringkali, kenaikan produksi pangan juga tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi lebih menguntungkan pemilik lahan luas, tengkulak dan saudagar besar. Walaupun secara nominal upah buruh tani per bulan terus naik hingga Juni 2015, namun secara riil upahnya tetap. Pendapatan yang terlalu minim bisa membuat banyak petani beralih pekerjaan. Akibatnya, jumlah sawah menyusut dan produksi pangan menurun. Oleh karena itu, kesejahteraan mereka perlu ditingkatkan agar semangat bertaninya meningkat dan produksi pangan pun meningkat. Sebagai langkah awal perlu dilakukan penguatan kelompok tani dan peningkatan penguasaan lahan oleh petani melalui reformasi agraria.

Melalui peringatan Hari Pangan Sedunia ke-35 tahun 2015 tingkat nasional yang bertema “Pemberdayaan Petani sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan”, mari kita berdayakan kembali petani demi kedaulatan pangan di Indonesia. Menyadari bahwa keberadaan mereka sungguh berarti dan berterimakasih atas jerih payahnya selama ini, diiringi dengan upaya untuk mensejahterakan mereka.




 Terima kasih Bapak dan Ibu tani. Selamat Hari Pangan Sedunia!



Sumber:

Berbagai sumber di internet.

8 komentar:

  1. lengkap sekali ulasannya mbak :)
    semoga kesejahteraan petani di Indonesia meningkat :)

    BalasHapus
  2. Terima kasih mbak. :)
    Iya mbak, petani banyak berjasa bagi kita. Semoga ke depannya mereka akan lebih sejahtera.

    BalasHapus
  3. Semoga Indonesia segera meraih swasembada pangan ya.. Ga impor terus.

    BalasHapus
  4. Terima kasih petani. Semoga hidup mereka semakin sejahtera ya Mak :)

    BalasHapus
  5. Semoga swasembada pangan bukan sekedar mimpi

    BalasHapus