Senin, 19 Oktober 2015

Kepedulian Konsumen dan Harga Sebuah Kehidupan




Sadar atau tidak terkadang kita ternyata ikut andil di dalam bencana-bencana yang terjadi di sekitar kita dan yang terjadi pada saudara-saudara kita. Di dalamnya termasuk pula peristiwa kebakaran hutan yang baru-baru ini terjadi di Sumsel, Jambi, dan Kalteng. Ada 40 juta jiwa orang yang menjadi korban paparan asap dan 9 orang meninggal dunia akibat asap dari hutan yang terbakar (Data BNPB). Bencana tersebut menyebabkan tingkat kehidupan masyarakat menurun drastis, tidak ada penerbangan/transportasi, udara menjadi kotor dan tidak sehat, serta banyak sekolah yang ditutup.


Apa yang kita beli, kita makan, atau kita pakai ternyata berdampak besar bagi lingkungan. Berawal dari pemilihan produk yang salah ada harga yang sangat mahal yang harus dibayar. Oleh karena itu kita dituntut untuk menjadi konsumen yang cerdas dan bijak, dengan hanya mem#beli yang baik. 


Minyak sawit adalah salah satu bahan yang sangat berpengaruh bagi keberlanjutan kehidupan. Banyak sekali produk mengandung minyak sawit sebagai komponennya, seperti sampo, es krim, margarin, lipstik, minyak goreng, deterjen, kosmetik, biofuel, dan lain-lain. Selain karena kualitasnya yang tinggi, minyak sawit bersifat fleksibel dan serba guna. Ia bisa diubah menjadi berbagai minyak yang berbeda dengan sifat yang berbeda. Bukan cuma itu, dengan biaya produksi yang lebih rendah ternyata kelapa sawit juga menghasilkan minyak yang jauh lebih banyak daripada minyak nabati lainnya. Ini membuatnya menjadi minyak yang sangat disukai sehingga meningkatkan kebutuhan/konsumsi terhadap minyak tersebut. 


Permintaan akan minyak nabati memang meningkat sejak 1970-an. Sebagai negara produsen dan konsumen terbesar minyak sawit, luas perkebunan sawit di Indonesia termasuk di antara salah satu yang terbesar di dunia. Permintaan minyak sawit yang tinggi diimbangi dengan produksi minyak sawit yang tinggi kemudian menjadi penyebab semakin meluasnya perkebunan kelapa sawit yang ada. Pembakaran hutan adalah cara termurah untuk mengkonversi hutan menjadi kebun kelapa sawit, sekaligus mendongkrak harga lahan. Inilah yang kemudian bisa diamati di Sumsel, Jambi, dan Kalteng saat ini: terjadinya kabut asap, satwa hutan mati terpanggang, maraknya ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas), liburnya sekolah-sekolah, terhambatnya penerbangan, bahkan terjadinya kematian.


Meluasnya perkebunan sawit di Indonesia menyimpan beberapa ancaman serius, yaitu:


1.    Konversi hutan menjadi kebun sawit

2.    Berkurangnya keanekaragaman hayati dan menyebabkan sejumlah besar spesies terancam punah

Di antara spesies-spesies yang terancam punah adalah orangutan, gajah, dan badak. Tingginya tingkat konversi hutan serta adanya pembunuhan, perburuan dan perdagangan liar telah menurunkan jumlah spesies-spesies itu secara drastis. Orangutan spesies Sumatera dan Kalimantan berada dalam status konservasi yang sangat terancam. Begitu pula dengan gajah. Sebanyak 70% dari kematian gajah disebabkan karena diracun oleh pemilik kebun sawit dan sejak 1985 sekitar 70% dari habitat gajah Sumatera hilang atau rusak hanya dalam satu generasi (25 tahun).





3.    Terjadi persaingan antara tanaman sawit dengan tanaman pangan dan tanaman pertanian industri lainnya, sehingga berpotensi mengganggu ketahanan dan keberlanjutan pangan.

4.    Menyebabkan longsor

5.    Menyebabkan polusi udara, tanah, dan air.

6.    Mempercepat terjadinya perubahan iklim

7.    Berpotensi menimbulkan konflik sosial




Produk Sawit Berlogo RSPO (RSPO Palm Oil)



 
© RSPO Trademark Logo


Seperti telah diuraikan di atas sebenarnya kegunaan minyak sawit sangat banyak, sayangnya perkebunan sawit telah menghilangkan lebih dari 3,5 juta hektar hutan alami dan hanya 9% dari produksi minyak sawit Indonesia yang diproduksi secara lestari (lebih baik bagi lingkungan). Dengan kata lain, meningkatnya budidaya tanaman kelapa sawit dapat mengancam kelestarian lingkungan. Untuk mengatasinya dicarilah suatu jalan tengah, yaitu RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). RSPO adalah asosiasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit - produsen kelapa sawit, pemroses atau pedagang kelapa sawit, produsen barang-barang konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM baik LSM pelestarian lingkungan atau konservasi alam, maupun sosial.



RSPO (Sumber)


Di dalam RSPO diterapkan suatu standar global untuk minyak sawit berkelanjutan. Produk yang memenuhi standar akan mendapat sertifikat. Keberadaan RSPO ini diharapkan dapat menurunkan dampak negatif dari budidaya kelapa sawit terhadap lingkungan dan masyarakat. Beberapa manfaat dapat diambil dari terbentuknya RSPO, yaitu: memenuhi permintaan pangan global; mendukung keterjangkauan harga pangan; menurunkan kemiskinan; melindungi kepentingan sosial, masyarakat dan pekerja; serta melindungi lingkungan dan satwa liar. Jika pada suatu produk terdapat logo RSPO itu artinya produk tersebut diproduksi tanpa merusak hutan, tanpa mengganggu kehidupan satwa-satwa liar (termasuk badak, gajak, dan orangutan), tanpa merugikan masyarakat, dan diproduksi dengan menerapkan cara-cara terbaik. Produsen-produsen dari produk itu mengklaim bahwa mereka memproduksi, menggunakan dan/atau menjual minyak sawit berkelanjutan. Di antara produsen yang telah menerapkannya adalah Carrefour, The Body Shop, Marks & Spencer, Waitrose dan Walmart, L'Occitane, Oriflame, Yordania, Kelly, dan Whole Earth Foods.




Peduli Lingkungan dan Kehidupan dengan gerakan "Beli yang Baik”



Tentang konsumen (Sumber)


Dari semua produk makanan kemasan di supermarket hari ini sekitar 50%-nya menggunakan minyak sawit. Setelah kita mengetahui berbagai fakta di atas, masihkah kita menjadi konsumen yang cuek? Di saat saudara-saudara kita bergumul dengan kabut asap dan berbagai kesusahan di daerahnya sebenarnya kita bisa membantu daripada hanya sekadar menghujat di berbagai sosial media. Caranya adalah dengan mendukung produk berlogo RSPO. Sehubungan dengan hal tersebut WWF-Indonesia mencanangkan gerakan #BeliYangBaik.



Mengapa beli yang baik?
  •  Untuk menghentikan eksploitasi laut berlebihan.
  • Untuk melestarikan cadangan air bersih
  • Untuk memperlambat pemanasan global.
  • Agar anak cucu kita masih bisa menikmati hasil bumi. 
  • Untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan petani.


Bagaimana caranya?


Gerakan #BeliYangBaik bisa dilakukan dengan cara:
  • Cari tahu asal-usul produk yang kita konsumsi. Jadilah konsumen yang kritis!
  • Cari produk berekolabel FSC dan RSPO untuk produk berbasis kayu dan kelapa sawit yang dijamin menerapkan prinsip pemanfaatan hutan yang lestari dan berkelanjutan.
  • Gunakan kekuatan sebagai konsumen untuk MEMINTA produsen dan ritel menyediakan produk-produk berekolabel dan atau tidak berkontribusi pada perusakan lingkungan.
  • Tetapkan komitmen untuk menjadi konsumen yang baik dengan menandatangani ikrar di www.change.org/beliyangbaik
  • Ajak orang lain untuk turut menerapkan gaya hidup hijau dalam keseharian.



Segala perubahan bisa berawal dari hal yang kecil dan dari diri sendiri. Mulai sekarang kita bisa menjadi konsumen yang cerdas dan bijak dengan mem#BeliYangBaik. Kecuekan kita akan menjadi bencana bagi semua, bahkan terhadap anak cucu kita. Ada harga yang sangat mahal dari perilaku merusak alam dan sikap mendiamkan terjadinya peristiwa tersebut. Kita harus sadar bahwa kepedulian konsumen menentukan ketahanan dan keberlanjutan pangan serta kelestarian lingkungan. Mari menjadi konsumen yang peduli! #BeliYangBaik.



Sumber:
 https://www.change.org/p/saya-beliyangbaik-utk-selamatkan-bumi-ini-aksiku-mana-aksimu

Senin, 05 Oktober 2015

HARI PANGAN SEDUNIA: Petani Pejuang Pangan dan Gizi Bangsaku

Artikel Lomba Hari Pangan Sedunia 2015 diselenggarakan PERGIZI PANGAN Indonesia



Tahun ini Sumatera Selatan mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah peringatan Hari Pangan Sedunia tingkat nasional ke-35. Momen ini diperingati setiap 16 Oktober, bertepatan dengan tanggal terbentuknya FAO, organisasi pangan sedunia. Selama 5 hari acara akan digelar di Jakabaring Sport City, Palembang, dengan acara puncak berlangsung pada 16 Oktober 2015. Diharapkan adanya ini dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat serta stakeholder di Indonesia dan dunia terhadap pentingnya penyediaan pangan yang cukup dan bergizi. Sebagai salah satu anggota Food and Agriculture Organization (FAO), sejak 1981, setiap tahun Indonesia memperingatinya. Hari Pangan Sedunia terlahir atas prakarsa dari Dr. Pal Romany, ketua delegasi Hongaria, kemudian dideklarasikan oleh negara-negara anggota FAO pada konferensi umum ke-20 November 1979 dan ditetapkan melalui Resolusi PBB No.1/1979 di Roma, Italia.


Melirik Kembali Potensi Pangan dan Gizi Indonesia di Hari Pangan Sedunia


Tempe, salah satu pangan kaya gizi
Sumber: twitter Pergizi


Pangan dan gizi sangat penting bagi suatu bangsa dan sekaligus bisa mendukung ketahanan nasional. Menengok bahwa Indonesia merupakan negara agraris sekaligus negara maritim, keanekaragaman hayatinya meraih peringkat ke-2 di dunia. Keanekaragaman hayati ini terdiri dari 800 spesies tumbuhan pangan,  lebih dari 1000 spesies tumbuhan medicinal, ribuan spesies mikroalga, serta perikanan laut dan darat yang kaya. Selain itu, Indonesia memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26  jenis kacang-kacangan, 389  jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, serta 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan (Sumber: Dr. Suhardi, 2000 dalam http://www.persma-agrica.com/sastra/kemandirian-pangan-syarat-mutlak-bagi/ ). Betapa kaya Indonesia sehingga disebut Gemah Ripah Loh Jinawi (kekayaan alamnya berlimpah). Begitu subur tanahnya sehingga Koes Plus bilang Tongkat, Kayu, dan Batu (bisa) jadi Tanaman. Atau hutannya yang begitu hijau laksana Zamrud Khatulistiwa. Dengan modal ini seharusnya Indonesia tidak bermasalah dengan pangan dan gizi. Lalu, mengapa kemandirian pangan belum tercapai? Tak lain karena pengembangannya belum optimal, termasuk dari sisi petani sebagai pengolahnya. Kesadaran bahwa petani tulang punggung pangan dan gizi bangsaku masih kurang. Jasa mereka sering dilupakan; padahal ketersediaan, kecukupan, keamanan, dan gizi pangan bergantung padanya. Petani pejuang pangan dan gizi bangsaku, sekaligus juga petani hidup dan mati bangsaku. Bertani bukanlah pekerjaan rendahan. Negara sangat membutuhkan jasa mereka untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya.


Hari Pangan Sedunia dan Mimpi Indonesia Menuju Swasembada Pangan

Presiden Jokowi mencanangkan pengembangan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Untuk mensukseskannya, perlu dipahami bahwa petani tulang punggung pangan dan gizi bangsaku, karena keduanya berkaitan. Membanjirnya produk impor dapat mengancam ketahanan pangan nasional berbasis sumber daya lokal. Rupiah yang terus melemah terhadap dolar dapat meningkatkan beban impor. Beban ini harus diturunkan agar perekonomian dan daya beli masyarakat pulih. Untuk menurunkan impor dan mencukupi ketersediaan pangan maka produksi pangan harus ditingkatkan. Ini penting karena kedaulatan suatu negara bergantung pada kemampuannya dalam mencukupi kebutuhan pangan rakyat. Ketersediaan pangan adalah pilar utama pembangunan nasional dan identik dengan ketahanan nasional. Sehubungan dengan itu, pembangunan ketahanan pangan masyarakat dinilai sebagai kebijakan strategis. Jika ketahanan pangan terganggu akan timbul gejolak sosial dan politik yang mengganggu stabilitas ekonomi, politik, atau stabilitas nasional. Contohnya pada krisis moneter 1998 lalu di mana meroketnya harga beras berkembang menjadi krisis multidimensi. Ini bukti bahwa mahalnya harga bahan pangan bisa berimbas kepada kemiskinan. Benarlah kiranya perkataan dari Presiden Soekarno, “Pangan adalah urusan hidup-mati suatu bangsa”. 

Presiden Jokowi mentargetkan tercapainya swasembada beras, jagung, dan kedelai pada 2015 serta gula dan daging sapi pada 2019. Tidak tanggung-tanggung, jika target tidak tercapai maka Menteri Pertanian (Mentan) hingga direksi perusahaan BUMN di sektor pertanian akan diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Mentan sendiri menganggap pencapaian program ini masih akan terkendala oleh banyaknya irigasi yang rusak dan pupuk oplosan, minimnya serapan benih tahun lalu, kurang memadainya alat pertanian, dan kurangnya penyuluh pertanian. Pertanian dan petani itu sendiri memang perlu mendapat perhatian serius agar swasembada beras bisa tercapai seperti di tahun 1985-1988. Apalagi melihat kondisi pertanian Indonesia saat ini di mana:

1.  Lahan pertanian makin berkurang karena telah beralih fungsi
Pertumbuhan penduduk yang pesat membutuhkan lahan-lahan baru sebagai tempat pemukiman, industri, dan sebagainya. Di sisi lain kebutuhan pangan mereka juga meningkat, artinya membutuhkan lahan pertanian lebih banyak. Akhirnya terjadilah persaingan antara kebutuhan lahan untuk pertanian dengan non pertanian. Lahan pertanian menjadi makin berkurang. Maraknya alih fungsi lahan tersebut kemudian menyebabkan kenaikan harga pangan dan arus urbanisasi serta hilangnya lapangan kerja bagi petani. Masalah-masalah ini membutuhkan diterapkannya peraturan daerah dengan lebih tegas.

Sawah di dekat rumah saya, kini telah hilang karena konversi lahan
(Gambar milik pribadi)

2.  Banyak lahan pertanian tidak subur lagi, mengalami kekeringan atau krisis air bersih.
Tanah sehat merupakan landasan produksi pangan yang sehat. Tanah yang seperti ini dapat menyediakan nutrisi penting, air, oksigen dan menunjang akar, serta melindungi akar tanaman yang peka terhadap perubahan temperatur yang drastis.

3.  Banyak petani yang beralih pekerjaan, entah karena lahan sudah tidak ada/buruk kondisinya ataupun karena tingkat kesejahteraan mereka yang rendah.
Tercapainya target swasembada pangan ditanggapi berbagai pihak dengan pro dan kontra. Pada swasembada gula misalnya, Guru besar ilmu ekonomi pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, memandangnya mustahil. Dalam 10 tahun terakhir produksi gula masih lambat, sedang langkah pemerintah baru sebatas perbaikan irigasi, sementara para stakeholder masih mempertahankan kepentingan masing-masing. Sebaliknya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil dan wakil presiden Jusuf Kalla menganggapnya mungkin. Arum Sabil optimis bahwa swasembada gula dapat terwujud jika pemerintah serius memperbaiki kebijakan serta rajin merevitalisasi dan membangun pabrik gula; sedangkan Jusuf Kalla memandang swasembada akan tercapai jika kebersihan pabrik dan kualitas bibit diperbaiki serta rendaman ditingkatkan. 


 
Swasembada daging sapi, salah satu target swasembada pangan Indonesia
(Gambar milik pribadi)

Untuk swasembada daging sapi, pernah diupayakan pada 2009-2014, namun gagal. Disinyalir penyebabnya adalah kesalahan dalam menghitung kebutuhan daging nasional. Kini, ketika program serupa kembali digulirkan, Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bustanul Arifin, menyikapinya dengan pesimis. Menurutnya, kondisi itu baru dapat terwujud di tahun 2024. Hal itu disebabkan karena impor sapi masih di atas 50 persen, tidak terjadi peningkatan populasi sapi lokal, tidak adanya subsidi dan insentif untuk peternak sapi lokal, serta kurang terorganisirnya petani sapi. Sementara itu, di tengah kesimpangsiuran angka kebutuhan daging nasional, Mentan malah memotong importasi dari 60% menjadi 10% untuk mengikuti standar swasembada dari FAO. Di sisi lain, dominannya praktik rentseeking dan kartel membuat kebijakan dan tata laksana impor sapi juga melemah. Akan lebih baik jika dilakukan perbaikan pada pengelolaan dan tata niaga sapi dalam negeri dan hanya memandang impor sebagai solusi jangka pendek.


Hari Pangan Sedunia, Saat Tepat untuk Mencari Solusi Masalah Swasembada Pangan di Indonesia

Target swasembada pangan dari presiden masih terkendala banyak hal. Di tahun ini misalnya, telah terjadi kebakaran hutan, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan kekeringan. Kekeringan yang disebabkan karena kemarau, perubahan iklim, El Nino, dan krisis air bersih kini melanda berbagai wilayah di Indonesia. Apalagi, El Nino tahun ini lebih kuat dari tahun 1998. Tanaman bisa puso, mati, atau menurun kualitasnya. Selain itu, produksi pangan nasional dan pendapatan petani bisa menurun, harga bahan-bahan pangan dan kemiskinan meningkat, serta inflasi dan impor terstimulasi. Jika kegagalan tanam dan panen terjadi maka stok pangan selama 2 periode masa tanam akan terganggu.

El Nino tahun ini diperkirakan berakhir Oktober. Setidaknya 8 provinsi telah terkena dampaknya, yaitu NTB, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara. Meski demikian produksi pangan diperkirakan cukup karena ditopang oleh daerah-daerah yang tidak terdampak, misalnya Kalimantan Timur. Sebagai antisipasi, lahan rawa lebak akan dioptimalkan dan diubah menjadi lumbung pangan. Lama dan tinggi genangan lahan tersebut menurun saat musim kemarau sehingga potensinya meningkat. Kondisi ini membuatnya potensial untuk ditanami, seperti yang terdapat pada Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Lampung dan Kalimantan Selatan.

Kekeringan bisa mengancam terwujudnya swasembada pangan, bahkan menyebabkan krisis pangan. Petani jadi sulit mengakses sumber air. Kalaupun ada, debitnya sedikit. Biasanya solusi pemerintah adalah membangun waduk dan jaringan irigasi atau mengirim pompa air. Akan tetapi, jika sumber mata airnya tidak ada, waduk dan jaringan irigasi akan sulit beroperasi. Lagipula penggunaan pompa air akan menyedot banyak air tanah. Akibatnya, kekeringan dan krisis air makin parah dan diikuti dengan berbagai dampak negatif lainnya. Untuk menurunkan dampak ini diperlukan kerja sama antara kementerian pertanian dengan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan.

Meski terkendala banyak hal, swasembada pangan bisa diupayakan dengan cara berikut:
1.    Meningkatkan produksi pangan, yaitu dengan membangun dan memperbaiki irigasi, mengatur distribusi pupuk dan benih, memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut, mengoptimalkan lahan tidur/tidak produktif, memperbaiki teknologi, menggalakkan riset, menerapkan bioperforasi, menindak tegas mafia pangan, mendorong perikanan budidaya, disertai dengan kebijakan pemerintah yang mendukung.
2.    Pemupukan berimbang dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR), agar lahan rawa dapat dimanfaatkan menjadi lahan pertanian di musim kemarau.
3.    Mengembangkan pupuk hayati biotara dan biosure untuk menyuburkan lahan pertanian.
4.    Menggunakan benih padi varietas IPB 3S.
5.    Pengadaan bantuan pertanian melalui penunjukan langsung.
6.    Mencegah penanaman pangan di areal existing (area yang sudah ditanam).
7.    Meningkatkan anggaran pertanian daerah agar produksi pertaniannya meningkat.
8.    Melibatkan semua stakeholder dalam produksi pangan seperti Bulog, TNI, dan petani.
9.    Meneruskan Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) yang telah dilaksanakan sejak 2011, yaitu untuk meningkatkan produktivitas di lahan hutan wilayah Perum Perhutani dengan sistem tumpang sari dan lahan milik anggota LMDH.
10.    Menetapkan musim tanam dan mengawasi pelaksanaannya oleh petani.


(Gambar milik pribadi)

Saat ini pemerintah berusaha meningkatkan produksi pangan, menciptakan pangan berbahan baku lokal, dan melakukan diversifikasi pangan untuk mencapai kedaulatan pangan. Kedaulatan ini bisa dimulai dari kemandirian pangan keluarga lalu meningkat ke skala di atasnya, misalnya sekeluarga makan dari hasil pekarangannya. Kuncinya adalah upaya mensejahterakan petani dengan memiliki lahan produktif dan menjamin keadilan sistem perdagangan. Agar kedaulatan cepat terwujud diperlukan tambahan lahan dan subsidi petani, sedangkan untuk mencapai kemandirian pangan diperlukan optimalisasi sumber daya lokal dan upaya untuk memajukan industri gula. Jika kualitas dan kuantitas produksi gula lokal naik dan industri gula bisa berjaya seperti tahun 1929, maka ancaman melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS bukan masalah.

Terwujudnya kedaulatan, kemandirian, dan keamanan pangan dapat memperkuat tercapainya ketahanan pangan. Di dalam UU RI No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan,  ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang didukung oleh ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Di dalamnya terkandung 4 komponen utama, yaitu:
1.    Terpenuhinya kebutuhan pangan.
2.    Kestabilan persediaan pangan dari musim ke musim.
3.    Keterjangkauan harga pangan oleh setiap lapisan masyarakat, agar tersebar merata.
4.    Kualitas dan keamanan mutu pangan yang baik serta dapat dikonsumsi.

Ada berbagai cara untuk mendukung tercapainya ketahanan pangan, yaitu memberi bantuan pupuk dan alat pertanian kepada petani, memaksimalkan produksi lahan pertanian, memberdayakan penyuluh pertanian, memandirikan petani, gerakan 100% pangan lokal, diversifikasi pangan, menjaga tanah, menerapkan pertanian alami tanpa bahan kimia, mengurangi jarak tempuh makanan dan berfokus pada makanan segar, mengembalikan tanah kepada petani, melakukan program One Day No Rice (diganti pangan lokal non beras), dan adanya lembaga pengelola impor bahan pangan yang tegas.


Hari Pangan Sedunia: Meneliti Kebijakan Impor yang Ada

Sampai batas waktu target swasembada yang ditetapkan, pemerintah masih banyak mengandalkan impor untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Terutama jika permintaan tetap ada sementara produksi pangan dalam negeri kurang. Pasar membutuhkan pasokan yang cukup agar harga terkendali. Menutup impor secara drastis malah bisa melonjakkan harga pangan dan menyebabkan inflasi. Sembari menuju swasembada pangan penurunan impor perlu diimbangi dengan peningkatan produksi pangan. Selain itu, untuk meredam potensi lonjakan harga pangan dan mengamankan kepastian pembelian hasil petani perlu dibentuk cadangan pangan di tingkat pusat hingga desa. Cadangan ini akan dilepas ke pasar jika terjadi keadaan darurat atau gejolak harga. Adanya cadangan pangan negara beserta adanya data kecukupan atau kekurangan produksi yang akurat adalah kunci dari stabilitas harga. Data yang tidak akurat sangat berdampak pada solusi masalah ketersediaan, distribusi, dan harga pangan. Secara langsung atau tidak, impor akan terpengaruh. Jadi, jika ingin meningkatkan produksi pangan atau menurunkan impor benahi dulu keakuratan datanya.

Kebijakan impor harus diambil dengan hati-hati agar terhindar dari kartel pangan atau over suplai. Over suplai seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi lebih rendah dibanding biaya produksi sehingga membuatnya merugi dan berhenti bertani. Akibatnya, ketahanan pangan nasional menjadi rapuh. Bukan hanya itu, mengandalkan impor untuk ketersediaan komoditas pangan domestik cederung berisiko tinggi dan membuat diversifikasi pangan terabaikan.


Kesejahteraan Petani, Kunci Suksesnya Pemberdayaan Petani di Hari Pangan Sedunia ke-35 Tingkat Nasional di Indonesia


(Gambar milik pribadi)

Petani sebagai tonggak hidup dan mati bangsa harus lebih diperhatikan kesejahteraannya. Di tengah mahalnya harga pangan ternyata kualitas hidup mereka semakin terpuruk. Harga naik berkali lipat hanya di tingkat pedagang, sementara di tingkat petani tetap sangat murah. Padahal, petani yang dekat dengan sumber pangan harusnya dapat menikmati kondisi tingginya harga pangan. Berdasarkan Nilai Tukar Petani (NTP) tingkat kesejahteraan petani semakin lama malah semakin menurun, dari 105,2% (2012) menjadi 102% (2014). Keberadaan pengepul telah menyebabkan disparitas tinggi antara harga di tingkat petani/produsen dengan di tingkat konsumen. Seringkali, kenaikan produksi pangan juga tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi lebih menguntungkan pemilik lahan luas, tengkulak dan saudagar besar. Walaupun secara nominal upah buruh tani per bulan terus naik hingga Juni 2015, namun secara riil upahnya tetap. Pendapatan yang terlalu minim bisa membuat banyak petani beralih pekerjaan. Akibatnya, jumlah sawah menyusut dan produksi pangan menurun. Oleh karena itu, kesejahteraan mereka perlu ditingkatkan agar semangat bertaninya meningkat dan produksi pangan pun meningkat. Sebagai langkah awal perlu dilakukan penguatan kelompok tani dan peningkatan penguasaan lahan oleh petani melalui reformasi agraria.

Melalui peringatan Hari Pangan Sedunia ke-35 tahun 2015 tingkat nasional yang bertema “Pemberdayaan Petani sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan”, mari kita berdayakan kembali petani demi kedaulatan pangan di Indonesia. Menyadari bahwa keberadaan mereka sungguh berarti dan berterimakasih atas jerih payahnya selama ini, diiringi dengan upaya untuk mensejahterakan mereka.




 Terima kasih Bapak dan Ibu tani. Selamat Hari Pangan Sedunia!



Sumber:

Berbagai sumber di internet.