Dia
menghampiriku, seperti biasanya. Begitu bergegas, seolah begitu ingin bertemu
denganku. Matanya berbinar, senyumnya terkembang saat melihatku. Aku berusaha
mengelak. Hanya berbincang sesaat lalu kutinggalkan dia. Entahlah apakah dia
merasa atau tidak saat aku mengabaikannya. Batinku berkecamuk, serasa diri
begitu kejam. Namun aku hanya ingin menempatkannya di waktu yang tepat, suatu
hari nanti.
Oh....lagi-lagi
aku bertemu dengannya. Apakah dia sengaja membuntutiku? Ah, tidak. buru-buru
kutepis pikiran itu. Bertahun-tahun dia menghujaniku dengan berbagai perhatian.
Sms-smsnya, bantuan yang ditawarkan, perhatiannya, semuanya. Membuat dinding
hatiku mulai luluh. Kurasakan desir-desir halus mulai menyusup. Menantinya,
menyukai perhatiannya, walau aku tetap tak menjalin ikatan dengannya. Perasaan apa
ini? Tidak tidak aku tidak boleh, tidak boleh.
Setelah
dia lulus aku merasa kehilangannya. Di suatu momen yang tak terduga kami
bertemu. Dia sedang mengurus surat-surat kampus untuk keperluan pekerjaannya,
sedang aku masih kuliah. Masih kulihat mata yang sama, memandangku penuh cinta.
Aku tetap menyembunyikannya, malu-malu, dan tak mengakuinya. Lalu kami kembali
kepada urusan masing-masing.
Tak
lama kemudian aku pun bekerja. Aku merindukan kehadirannya. Kucari jejak-jejak
yang tertinggal. Nomernya masih ada. Dorongan hati membuatku memencet
tombol-tombol hp itu untuk mengirimkan pesan padanya. Aku mencintaimu,
kembalilah. Aku merindukan perhatianmu. Begitu inti pesanku. Tak kusangka dia
masih menyimpan rasa itu. Wajahnya makin rupawan, mungkin uangnya telah banyak
sehingga cukup untuk merawat diri dengan lebih baik.
Masa
itu begitu singkat, hingga sesuatu yang tak dikehendaki terjadi. Dia bilang
akan menikahiku saat usianya 30 tahun. Ibuku tak setuju, terlalu tua rasanya
menikah di umur segitu. Lalu entah mengapa dia menghilang setahun lamanya. Aku
merasa bingung dan aneh, hancur. Apalagi saat itu bapakku baru saja meninggal. Tapi
Allah punya rencana yang lain sehingga akhirnya aku bertemu dengan pria tampan
dari masa laluku, sebut saja Arif. Sungguh suatu keajaiban bahwa ternyata Arif
yang kucintai sejak belasan tahun yang lalu kini menjadi kekasihku. Menggantikan
Setyo, yang hilang ditelan bumi.
Suasana begitu rumit ketika Setyo kembali. Dia
ingin meraihku lagi, tapi tak mungkin. Aku mencintai Arif, sedang cintaku pada
Setyo adalah karena kegigihannya saja. Lagipula tak ada kata maaf untuk suatu
ketidak-jelasan setahun lamanya. Meski dia sempat menuduhku mudah berpaling
tapi aku yakin jauh di lubuk hatinya memahami alasan dari semua keputusanku.
Apakah dia berharap aku akan menunggunya seumur hidupku? Sungguh naif. Bagaimana
jika dia tidak kembali untuk selamanya?
Bersama
dengan Arif ternyata tak membuatku bahagia. Apalagi Setyo kadang-kadang masih
hadir dalam hidupku. Terkadang aku membandingkan keduanya, namun hatiku tak
bisa memilih. Bisikan hatiku mengatakan, bukan salah satu di antara mereka. Setyo
tak rela aku bersama Arif, dia berusaha meraihku. Dia melamarku. Tapi maafkan
aku, hasil istikharahku menolakmu. Kemudian dia bekerja di tempat yang jauh dan
langsung menikah.
Sampai
di sini aku mengerti bahwa dia selingkuh, walaupun dia mengatakan kalau ini
adalah suatu perjodohan. Namun sang waktu selalu jujur dan membenarkan
dugaanku. Malangnya, keputusan yang tergesa-gesa itu membuatnya menyesal seumur
hidupnya. Istrinya bukanlah istri yang baik. Aku sendiri heran mengapa itu bisa
terjadi? Padahal saat bersamaku dia selalu mengujiku dengan ini dan itu. Aku sampai
bosan dan lelah, dan sangat tak enak rasanya.
Akhirnya
dia harus mengakui bahwa aku yang terbaik. Beberapa kali dia ingin kembali
namun aku mengabaikannya. Aku sempat sangat membencinya dan mendoakan keburukan
untuknya saat kutahu dia begitu sering menipu dan mempermainkan aku, tapi itu
hanya sesaat. Karena di waktu-waktu tertentu hatiku teramat sakit terkenang
masa-masa kelam antara aku dan dia.
Terakhir
kudapati nasibnya makin mengenaskan. Takdirnya yang menikah mendahuluiku bukan
berarti nasibnya lebih baik dariku yang hingga kini belum bertemu jodoh. Memiliki
istri yang sangat galak, matre, dan tidak memenuhi kewajibannya pastilah membuat
rumah tangganya bagai di neraka. Hatiku luluh. Bagaimanapun rasa itu pernah ada
di antara kami. Apalagi ketika dia mengatakan kini dia telah berubah, bukan
Setyo yang baik yang dulu kukenal. Hatiku begitu perih. Mengapa harus kamu? Mengapa
takdir membawamu menjadi seseorang yang seperti “itu”?
Aku
berusaha membawanya “kembali”, seketika segala perasaan buruk di hati menguap. Aku
mencintainya, hanya saja takdir yang membuat kami tidak bersatu. Kini aku
sering mendoakannya agar kembali ke jalan yang benar. Tak lupa aku pun
mendoakannya agar mendapatkan istri yang shalihah. Bagaimanapun aku pernah
mencintainya, aku pernah dilamar olehnya, aku pernah merasakan sedikit banyak
kebaikan darinya, dan segudang alasan lainnya.
Aku
tetap mencintainya, tapi dengan cinta yang berbeda. Cinta berdasar nafsu yang
dulu berganti dengan cinta kepada sesama muslim. Aku selalu berharap Allah akan
memberikan hidayah untukmu, membuatmu bertobat dan menerima tobatmu. Aku berharap
kita nanti akan sama-sama bahagia, dengan kehidupan kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar