Artikel
Lomba Hari Pangan Sedunia 2015 diselenggarakan PERGIZI PANGAN Indonesia
Tahun
ini Sumatera Selatan mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah peringatan Hari
Pangan Sedunia tingkat nasional ke-35. Momen ini diperingati setiap 16
Oktober, bertepatan dengan tanggal terbentuknya FAO, organisasi pangan sedunia. Selama 5 hari acara akan digelar
di Jakabaring Sport City, Palembang, dengan acara puncak berlangsung pada 16
Oktober 2015. Diharapkan adanya ini dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian
masyarakat serta stakeholder di Indonesia dan dunia terhadap pentingnya
penyediaan pangan yang cukup dan bergizi. Sebagai salah satu anggota Food and
Agriculture Organization (FAO), sejak 1981, setiap tahun Indonesia memperingatinya.
Hari
Pangan Sedunia terlahir atas prakarsa dari Dr. Pal Romany, ketua
delegasi Hongaria, kemudian dideklarasikan oleh negara-negara anggota FAO pada
konferensi umum ke-20 November 1979 dan ditetapkan melalui Resolusi PBB No.1/1979
di Roma, Italia.
Tempe, salah satu pangan kaya gizi
Sumber: twitter Pergizi
Pangan dan gizi
sangat penting bagi suatu bangsa dan sekaligus bisa mendukung ketahanan
nasional. Menengok bahwa Indonesia merupakan negara agraris sekaligus negara
maritim, keanekaragaman hayatinya meraih peringkat ke-2 di dunia.
Keanekaragaman hayati ini terdiri dari 800 spesies tumbuhan pangan, lebih dari 1000 spesies tumbuhan medicinal,
ribuan spesies mikroalga, serta perikanan laut dan darat yang kaya. Selain itu,
Indonesia memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak,
26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis
bahan minuman, serta 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan (Sumber: Dr.
Suhardi, 2000 dalam http://www.persma-agrica.com/sastra/kemandirian-pangan-syarat-mutlak-bagi/
). Betapa kaya Indonesia sehingga disebut Gemah
Ripah Loh Jinawi (kekayaan alamnya berlimpah). Begitu subur tanahnya sehingga
Koes Plus bilang Tongkat, Kayu, dan Batu (bisa)
jadi Tanaman. Atau hutannya yang
begitu hijau laksana Zamrud Khatulistiwa.
Dengan modal ini seharusnya Indonesia tidak bermasalah dengan pangan dan
gizi. Lalu, mengapa kemandirian pangan belum tercapai? Tak lain karena pengembangannya
belum optimal, termasuk dari sisi petani sebagai pengolahnya. Kesadaran bahwa petani
tulang punggung pangan dan gizi bangsaku masih kurang. Jasa mereka sering
dilupakan; padahal ketersediaan, kecukupan, keamanan, dan gizi pangan bergantung
padanya. Petani
pejuang pangan dan gizi bangsaku, sekaligus juga petani hidup dan mati bangsaku.
Bertani bukanlah pekerjaan rendahan. Negara sangat membutuhkan jasa mereka untuk
mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya.
Presiden
Jokowi mencanangkan pengembangan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian
nasional. Untuk mensukseskannya, perlu dipahami bahwa petani tulang punggung pangan dan gizi
bangsaku, karena keduanya
berkaitan. Membanjirnya produk impor dapat mengancam ketahanan pangan nasional
berbasis sumber daya lokal. Rupiah yang terus melemah terhadap dolar dapat meningkatkan
beban impor. Beban ini harus diturunkan agar perekonomian dan daya beli
masyarakat pulih. Untuk menurunkan impor dan mencukupi ketersediaan pangan maka
produksi
pangan harus ditingkatkan. Ini penting karena kedaulatan suatu negara
bergantung pada kemampuannya dalam mencukupi kebutuhan pangan rakyat. Ketersediaan
pangan adalah pilar utama pembangunan nasional dan identik dengan ketahanan
nasional. Sehubungan dengan itu, pembangunan ketahanan pangan masyarakat
dinilai sebagai kebijakan strategis. Jika ketahanan pangan terganggu akan
timbul gejolak sosial dan politik yang mengganggu stabilitas ekonomi, politik,
atau stabilitas nasional. Contohnya pada krisis moneter 1998 lalu di mana
meroketnya harga beras berkembang menjadi krisis multidimensi. Ini bukti bahwa mahalnya
harga bahan pangan bisa berimbas kepada kemiskinan. Benarlah kiranya perkataan
dari Presiden Soekarno, “Pangan adalah urusan hidup-mati suatu bangsa”.
Presiden
Jokowi mentargetkan tercapainya swasembada beras, jagung, dan kedelai pada 2015
serta gula dan daging sapi pada 2019. Tidak tanggung-tanggung, jika target
tidak tercapai maka Menteri Pertanian (Mentan) hingga direksi perusahaan BUMN
di sektor pertanian akan diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Mentan
sendiri menganggap pencapaian program ini masih akan terkendala oleh banyaknya
irigasi yang rusak dan pupuk oplosan, minimnya serapan benih tahun lalu, kurang
memadainya alat pertanian, dan kurangnya penyuluh pertanian. Pertanian dan
petani itu sendiri memang perlu mendapat perhatian serius agar swasembada beras
bisa tercapai seperti di tahun 1985-1988. Apalagi melihat kondisi pertanian
Indonesia saat ini di mana:
1. Lahan
pertanian makin berkurang karena telah beralih fungsi
Pertumbuhan
penduduk yang pesat membutuhkan lahan-lahan baru sebagai tempat pemukiman,
industri, dan sebagainya. Di sisi lain kebutuhan pangan mereka juga meningkat,
artinya membutuhkan lahan pertanian lebih banyak. Akhirnya terjadilah
persaingan antara kebutuhan lahan untuk pertanian dengan non pertanian. Lahan
pertanian menjadi makin berkurang. Maraknya alih fungsi lahan tersebut kemudian
menyebabkan kenaikan harga pangan dan arus urbanisasi serta hilangnya lapangan
kerja bagi petani. Masalah-masalah ini membutuhkan diterapkannya peraturan
daerah dengan lebih tegas.
Sawah di dekat rumah saya, kini telah hilang karena konversi lahan
(Gambar milik pribadi)
2. Banyak
lahan pertanian tidak subur lagi, mengalami kekeringan atau krisis air bersih.
Tanah
sehat merupakan landasan produksi pangan yang sehat. Tanah yang
seperti ini dapat menyediakan nutrisi penting, air, oksigen dan menunjang akar,
serta melindungi akar tanaman yang peka terhadap perubahan temperatur yang
drastis.
3. Banyak
petani yang beralih pekerjaan, entah karena lahan sudah tidak ada/buruk kondisinya
ataupun karena tingkat kesejahteraan mereka yang rendah.
Tercapainya
target swasembada pangan ditanggapi berbagai pihak dengan pro dan kontra. Pada
swasembada gula misalnya, Guru besar ilmu ekonomi pertanian Universitas Lampung,
Bustanul Arifin, memandangnya mustahil. Dalam 10 tahun terakhir produksi gula masih
lambat, sedang langkah pemerintah baru sebatas perbaikan irigasi, sementara para
stakeholder masih mempertahankan kepentingan masing-masing. Sebaliknya, Ketua
Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil dan wakil presiden
Jusuf Kalla menganggapnya mungkin. Arum Sabil optimis bahwa swasembada gula
dapat terwujud jika pemerintah serius memperbaiki kebijakan serta rajin merevitalisasi
dan membangun pabrik gula; sedangkan Jusuf Kalla memandang swasembada akan
tercapai jika kebersihan pabrik dan kualitas bibit diperbaiki serta rendaman
ditingkatkan.
Swasembada daging sapi, salah satu target swasembada pangan Indonesia
(Gambar milik pribadi)
Untuk
swasembada daging sapi, pernah diupayakan pada 2009-2014, namun gagal. Disinyalir
penyebabnya adalah kesalahan dalam menghitung kebutuhan daging nasional. Kini,
ketika program serupa kembali digulirkan, Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia (Perhepi), Bustanul Arifin, menyikapinya dengan pesimis. Menurutnya, kondisi
itu baru dapat terwujud di tahun 2024. Hal itu disebabkan karena impor sapi
masih di atas 50 persen, tidak terjadi peningkatan populasi sapi lokal, tidak
adanya subsidi dan insentif untuk peternak sapi lokal, serta kurang
terorganisirnya petani sapi. Sementara itu, di tengah kesimpangsiuran angka
kebutuhan daging nasional, Mentan malah memotong importasi dari 60% menjadi 10%
untuk mengikuti standar swasembada dari FAO. Di sisi lain, dominannya praktik
rentseeking dan kartel membuat kebijakan dan tata laksana impor sapi juga
melemah. Akan lebih baik jika dilakukan perbaikan pada pengelolaan dan tata
niaga sapi dalam negeri dan hanya memandang impor sebagai solusi jangka pendek.
Target
swasembada pangan dari presiden masih terkendala banyak hal. Di tahun ini
misalnya, telah terjadi kebakaran hutan, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dolar, dan kekeringan. Kekeringan yang disebabkan karena kemarau, perubahan
iklim, El Nino, dan krisis air bersih kini melanda berbagai wilayah di
Indonesia. Apalagi, El Nino tahun ini lebih kuat dari tahun 1998. Tanaman bisa puso,
mati, atau menurun kualitasnya. Selain itu, produksi pangan nasional dan
pendapatan petani bisa menurun, harga bahan-bahan pangan dan kemiskinan
meningkat, serta inflasi dan impor terstimulasi. Jika kegagalan tanam dan panen
terjadi maka stok pangan selama 2 periode masa tanam akan terganggu.
El
Nino tahun ini diperkirakan berakhir Oktober. Setidaknya 8 provinsi telah
terkena dampaknya, yaitu NTB, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Barat, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara. Meski demikian produksi pangan diperkirakan
cukup karena ditopang oleh daerah-daerah yang tidak terdampak, misalnya
Kalimantan Timur. Sebagai antisipasi, lahan rawa lebak akan dioptimalkan dan
diubah menjadi lumbung pangan. Lama dan tinggi genangan lahan tersebut menurun
saat musim kemarau sehingga potensinya meningkat. Kondisi ini membuatnya
potensial untuk ditanami, seperti yang terdapat pada Provinsi Sumatera Selatan,
Riau, Lampung dan Kalimantan Selatan.
Kekeringan
bisa mengancam terwujudnya swasembada pangan, bahkan menyebabkan krisis pangan.
Petani jadi sulit mengakses sumber air. Kalaupun ada, debitnya sedikit.
Biasanya solusi pemerintah adalah membangun waduk dan jaringan irigasi atau
mengirim pompa air. Akan tetapi, jika sumber mata airnya tidak ada, waduk dan
jaringan irigasi akan sulit beroperasi. Lagipula penggunaan pompa air akan
menyedot banyak air tanah. Akibatnya, kekeringan dan krisis air makin parah dan
diikuti dengan berbagai dampak negatif lainnya. Untuk menurunkan dampak ini diperlukan
kerja sama antara kementerian pertanian dengan kementerian lingkungan hidup dan
kehutanan.
Meski
terkendala banyak hal, swasembada pangan bisa diupayakan dengan cara berikut:
1. Meningkatkan
produksi
pangan, yaitu dengan membangun dan memperbaiki irigasi, mengatur
distribusi pupuk dan benih, memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut, mengoptimalkan
lahan tidur/tidak produktif, memperbaiki teknologi, menggalakkan riset, menerapkan
bioperforasi, menindak tegas mafia pangan, mendorong perikanan budidaya, disertai
dengan kebijakan pemerintah yang mendukung.
2. Pemupukan
berimbang dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR), agar lahan rawa
dapat dimanfaatkan menjadi lahan pertanian di musim kemarau.
3. Mengembangkan
pupuk hayati biotara dan biosure untuk menyuburkan lahan pertanian.
4. Menggunakan
benih padi varietas IPB 3S.
5. Pengadaan
bantuan pertanian melalui penunjukan langsung.
6. Mencegah
penanaman pangan di areal existing (area yang sudah ditanam).
7. Meningkatkan
anggaran pertanian daerah agar produksi pertaniannya meningkat.
8. Melibatkan
semua stakeholder dalam produksi pangan seperti Bulog, TNI, dan
petani.
9. Meneruskan
Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K)
yang telah dilaksanakan sejak 2011, yaitu untuk meningkatkan produktivitas di
lahan hutan wilayah Perum Perhutani dengan sistem tumpang sari dan lahan milik
anggota LMDH.
10. Menetapkan
musim tanam dan mengawasi pelaksanaannya oleh petani.
(Gambar milik pribadi)
Saat
ini pemerintah berusaha meningkatkan produksi pangan, menciptakan pangan berbahan
baku lokal, dan melakukan diversifikasi pangan untuk mencapai kedaulatan
pangan. Kedaulatan ini bisa dimulai dari kemandirian pangan keluarga lalu
meningkat ke skala di atasnya, misalnya sekeluarga makan dari hasil pekarangannya.
Kuncinya adalah upaya mensejahterakan petani dengan memiliki lahan produktif dan
menjamin keadilan sistem perdagangan. Agar kedaulatan cepat terwujud diperlukan
tambahan lahan dan subsidi petani, sedangkan untuk mencapai kemandirian pangan diperlukan
optimalisasi sumber daya lokal dan upaya untuk memajukan industri gula. Jika
kualitas dan kuantitas produksi gula lokal naik dan industri gula bisa berjaya
seperti tahun 1929, maka ancaman melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS bukan
masalah.
Terwujudnya
kedaulatan, kemandirian, dan keamanan pangan dapat memperkuat tercapainya ketahanan
pangan. Di dalam UU RI No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya
pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata,
dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang didukung oleh ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi. Di dalamnya terkandung 4 komponen utama, yaitu:
1. Terpenuhinya
kebutuhan pangan.
2. Kestabilan
persediaan pangan dari musim ke musim.
3. Keterjangkauan
harga pangan oleh setiap lapisan masyarakat, agar tersebar merata.
4. Kualitas
dan keamanan mutu pangan yang baik serta dapat dikonsumsi.
Ada
berbagai cara untuk mendukung tercapainya ketahanan pangan, yaitu memberi
bantuan pupuk dan alat pertanian kepada petani, memaksimalkan produksi lahan
pertanian, memberdayakan penyuluh pertanian, memandirikan petani, gerakan 100%
pangan lokal, diversifikasi pangan, menjaga tanah, menerapkan pertanian alami tanpa
bahan kimia, mengurangi jarak tempuh makanan dan berfokus pada makanan segar,
mengembalikan tanah kepada petani, melakukan program One Day No Rice (diganti
pangan lokal non beras), dan adanya lembaga pengelola impor bahan pangan yang
tegas.
Sampai
batas waktu target swasembada yang ditetapkan, pemerintah masih banyak
mengandalkan impor untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Terutama jika
permintaan tetap ada sementara produksi pangan dalam negeri kurang. Pasar
membutuhkan pasokan yang cukup agar harga terkendali. Menutup impor secara
drastis malah bisa melonjakkan harga pangan dan menyebabkan inflasi. Sembari
menuju swasembada pangan penurunan impor perlu diimbangi dengan peningkatan produksi
pangan. Selain itu, untuk meredam potensi lonjakan harga pangan dan mengamankan
kepastian pembelian hasil petani perlu dibentuk cadangan pangan di tingkat
pusat hingga desa. Cadangan ini akan dilepas ke pasar jika terjadi keadaan
darurat atau gejolak harga. Adanya cadangan pangan negara beserta adanya data
kecukupan atau kekurangan produksi yang akurat adalah kunci dari stabilitas
harga. Data yang tidak akurat sangat berdampak pada solusi masalah
ketersediaan, distribusi, dan harga pangan. Secara langsung atau tidak, impor akan
terpengaruh. Jadi, jika ingin meningkatkan produksi pangan atau menurunkan impor
benahi dulu keakuratan datanya.
Kebijakan
impor harus diambil dengan hati-hati agar terhindar dari kartel pangan atau
over suplai. Over suplai seringkali memaksa harga jual hasil panen petani
menjadi lebih rendah dibanding biaya produksi sehingga membuatnya merugi dan
berhenti bertani. Akibatnya, ketahanan pangan nasional menjadi rapuh. Bukan
hanya itu, mengandalkan impor untuk ketersediaan komoditas pangan domestik cederung
berisiko tinggi dan membuat diversifikasi pangan terabaikan.
Kesejahteraan Petani, Kunci Suksesnya
Pemberdayaan Petani di Hari Pangan Sedunia
ke-35 Tingkat Nasional di Indonesia
(Gambar milik pribadi)
Petani
sebagai tonggak hidup dan mati bangsa harus lebih diperhatikan
kesejahteraannya. Di tengah mahalnya harga pangan ternyata kualitas hidup mereka
semakin terpuruk. Harga naik berkali lipat hanya di tingkat pedagang, sementara
di tingkat petani tetap sangat murah. Padahal, petani yang dekat dengan sumber
pangan harusnya dapat menikmati kondisi tingginya harga pangan. Berdasarkan Nilai
Tukar Petani (NTP) tingkat kesejahteraan petani semakin lama malah semakin
menurun, dari 105,2% (2012) menjadi 102% (2014). Keberadaan pengepul telah menyebabkan
disparitas tinggi antara harga di tingkat petani/produsen dengan di tingkat
konsumen. Seringkali, kenaikan produksi pangan juga tidak serta merta
meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi lebih menguntungkan pemilik lahan luas,
tengkulak dan saudagar besar. Walaupun secara nominal upah buruh tani per bulan
terus naik hingga Juni 2015, namun secara riil upahnya tetap. Pendapatan yang
terlalu minim bisa membuat banyak petani beralih pekerjaan. Akibatnya, jumlah sawah
menyusut dan produksi pangan menurun. Oleh karena itu,
kesejahteraan mereka perlu ditingkatkan agar semangat bertaninya meningkat dan produksi
pangan pun meningkat. Sebagai langkah awal perlu dilakukan penguatan
kelompok tani dan peningkatan penguasaan lahan oleh petani melalui reformasi
agraria.
Melalui
peringatan Hari Pangan Sedunia ke-35 tahun 2015 tingkat
nasional yang bertema “Pemberdayaan Petani sebagai Penggerak Ekonomi Menuju
Kedaulatan Pangan”, mari kita berdayakan kembali petani demi kedaulatan pangan
di Indonesia. Menyadari bahwa keberadaan mereka sungguh berarti dan
berterimakasih atas jerih payahnya selama ini, diiringi dengan upaya untuk
mensejahterakan mereka.
Sumber:
Berbagai sumber di internet.