Keinginan
Indonesia Menjadi Poros Maritim Dunia
Indonesia pernah memiliki keinginan
untuk menjadi poros maritim dunia. Negara ini memiliki wilayah laut dan pesisir
terpanjang. Di dalamnya tersimpan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi,
bahan tambang dan mineral, potensi energi kelautan, dan potensi jasa-jasa
lingkungan (misalnya media transportasi dan keindahan alam untuk pariwisata). Apalagi
sebagai negara kepulauan 60% dari penduduknya tinggal di wilayah pesisir,
semakin menguatkan ke arah sana. Namun, saat ini kondisi pesisir-pesisir di
Indonesia sudah banyak yang rusak. Mampukah Indonesia mewujudkan mimpinya?
Kota Semarang
Sumber: http://100rcsemarang.org
Pesisir kota Semarang adalah bagian
dari pesisir Indonesia. Terpilihnya kota Semarang sebagai salah satu dari 100
kota di dunia yang terpilih di dalam program 100 Resilient Cities/100RC (100 Resilient Cities Semarang) merupakan
momen yang tepat untuk mewujudkan impian Indonesia menjadi poros maritim dunia.
Nantinya selain kota Semarang bisa membenahi pesisirnya, ilmunya juga bisa
ditularkan kepada pesisir-pesisir lain di Indonesia.
Saat ini fokus utama tentu
ditujukan kepada pesisir kota Semarang itu sendiri, di mana kondisinya sangat
kritis dan tekanan lahannya sangat berat. Beberapa pesisir diketahui rusak
akibat tingginya abrasi dan reklamasi, misalnya Pantai Mangkang, Maron, dan
Tambakrejo. Walaupun di tahun ini sebaran mangrove di pesisir kota Semarang meluas
karena banyaknya program rehabiltasi, akan tetapi luas yang tersisa hanya 68 ha
(sangat kecil).
Hutan mangrove merupakan salah satu
ekosistem penting di wilayah pesisir dan laut, selain terumbu karang dan padang
lamun. Fungsinya adalah untuk menahan gelombang/melindungi daratan dari abrasi,
mencegah intrusi air laut, menahan badai dan angin kencang, tempat berlindung
satwa, menyerap karbon dan logam berat, serta sebagai tempat pemijahan,
pembesaran, dan tempat mencari makan biota laut. Mangrove juga memiliki fungsi
ekonomis, yaitu untuk bahan bangunan, bahan pembuatan kapal, bahan baku
industri arang dan kertas, bahan pewarna alami, serta kayu bakar. Tanaman ini
umumnya bisa dijumpai pada jarak 1-10 km dari garis pantai.
Sering juga dijumpai pembalakan
liar terjadi pada hutan mangrove. Tindakan ini bisa menyebabkan hutan tersebut
rusak/gundul, sehingga merusak lingkungan pantai. Ironisnya, terkadang
pelakunya adalah masyarakat sendiri.
Kerusakan
dan Pencemaran di Lingkungan Pantai
Pesisir memiliki berbagai manfaat,
seperti digunakan sebagai sumber makanan, transportasi dan pelabuhan, kawasan
industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan
pemukiman dan tempat pembuangan limbah. Dari sinilah akhirnya timbul konflik
kepentingan. Konflik ini jika tidak disikapi dengan benar bisa menurunkan
kualitas serta kuantitas sumber daya alam di pesisir, contohnya masalah reklamasi
pantai.
Tur ekoeduwisata mangrove
Sumber: Twitter "Semarang Tangguh"
Kerusakan lingkungan pantai dapat
terjadi karena adanya pembalakan liar, abrasi, kerusakan hutan mangrove, pengambilan
pasir pantai sebagai bahan bangunan, penurunan sumber daya perikanan, kerusakan
padang lamun atau terumbu karang, dan sebagainya. Jika pesisir rusak maka akan
terjadi akumulasi gas karbon di atmosfer yang nantinya bisa memperparah dampak
perubahan iklim dan abrasi.
Selain bisa mengalami kerusakan,
lingkungan pantai juga bisa mengalami pencemaran. Pencemaran dapat terjadi
karena masukan polutan dari kegiatan di sepanjang garis pantai, dan atau secara
tidak langsung: melalui aliran sungai, kegiatan di lepas pantai, karena intrusi
air laut ke dalam air tanah dan sebagainya. Pencemaran pesisir menyebabkan
biota laut teracuni dan tidak layak konsumsi, gatal-gatal, keracunan, kematian,
dan menurunnya produksi rumput laut. Contoh pencemaran pesisir adalah tercemarnya
pesisir pantai utara Jawa oleh minyak dan oli kapal-kapal yang bongkar muat di
sana sehingga biota lautnya sudah tidak layak untuk dikonsumsi.
Pencemaran bisa mengakibatkan biaya
operasional nelayan membengkak (karena harus berlayar ke tengah laut) dan hasil
tangkapannya menurun (sehingga sebagian nelayan beralih kerja menjadi buruh
serabutan/petani musiman). Bukan cuma itu, pencemaran juga dapat merusak hutan
mangrove dan terumbu karang. Mangrove yang terlilit sampah saja bisa
menyebabkan terganggunya pertumbuhan mangrove dan satwa di sana. Di samping
itu, kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang akan mengurangi atau merusak
nilai estetika lingkungan pesisir dan lautan, menimbulkan kerugian sosial dan
ekonomi, serta menyebabkan erosi dan abrasi.
Abrasi
dan Reklamasi
Abrasi telah melanda beberapa
pesisir di Indonesia, termasuk di kota Semarang. Abrasi bisa merusak habitat
penyu, menenggelamkan desa/kecamatan, membuat pantai menjadi lautan, memperganas
ombak, memperpendek jarak areal kebun dan tambak dengan pantai, menurunkan
jumlah dan luasan spesies tanaman pantai, dan merusak garis pantai. Jika garis
pantai sudah rusak, maka sektor pariwisata, transportasi laut, keberadaan lahan
produktif, keanekaragaman hayati, dan batas negara bisa terpengaruh.
Reklamasi juga demikian, sudah
banyak ditemui. Aktivitas ini membuat banyak hutan mangrove dikonversi menjadi
area pertambakan, tempat wisata, kawasan industri/pabrik, dan pemukiman. Efeknya
bisa sangat merusak, sebagaimana rusaknya 10 ribu mangrove di pesisir pantai
selatan kabupaten Sampang, Madura.
Di Indonesia, laju kerusakan
kawasan mangrove dan padang lamun mencapai satu persen atau 618,94 kilometer
per tahun. Di pesisir pantai utara Jawa sendiri, sekitar 80 persen dari wilayahnya
rusak akibat konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan, pemukiman dan
industri; pembangunan infrastruktur yang tak memperhatikan aspek lingkungan,
serta pengambilan air tanah dan budidaya perikanan yang tidak berkelanjutan.
Kondisi
Pesisir-pesisir di Kota Semarang Sudah Sangat Mengkhawatirkan
Kondisi laut dan pesisir Indonesia
saat ini sudah sangat memprihatinkan. Sejak 2011, potensi hasil laut Indonesia
makin menurun. Dari 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), mayoritas telah tereksploitasi
parah dan sedang (berada di zona berbahaya). Ditambah dengan prestasi Indonesia
sebagai negara nomer 2 paling banyak buang sampah di laut dan banyaknya pesisir
di Indonesia yang tercemar/rusak, membuat laut dan pesisir Indonesia perlu
mendapat perhatian serius.
Pesisir-pesisir di kota Semarang
juga banyak yang sudah sangat kritis atau rusak, di antaranya akibat reklamasi.
Sayangnya, walau banyak pihak bermaksud untuk menyelamatkannya tetapi hal itu
sulit, karena lahan sudah dikuasai oleh pihak ke tiga. Dari sekitar 1146 hektar
wilayah pesisir kota Semarang mulai dari Kecamatan Tugu, Semarang Barat,
Semarang Utara hingga Genuk hampir semuanya dimiliki oleh swasta (sekitar 7
perusahaan) dan sisanya BUMN. Pemkot tidak memiliki lahan sama sekali. Akhirnya
pemkot berusaha menyiasatinya dengan menyusun perda zonasi. Perda ini akan
membagi pesisir ke dalam zona-zona, di antaranya adalah zona perikanan,
budidaya perikanan tangkap, zona industri, zona pelabuhan, zona pertanian dan
zona pelayaran. Melalui perda itu semua pembangunan yang merusak lahan
konservasi bisa dicegah dan lahan konservasi yang sudah ada bisa dipertahankan.
Upaya-upaya
Penyelamatan Pesisir
Sebagaimana telah tertulis di atas,
pemerintah berusaha menyelamatkan pesisir dengan menerbitkan perda zonasi.
Sementara itu, para pemerhati lingkungan biasanya lebih fokus kepada rehabilitasi
mangrove. Dalam merehabilitasi mangrove sebaiknya dipilih bibit lokal karena
sudah sesuai dengan karakteristik pesisir di sana dan tahan terhadap gelombang
laut. Meskipun tampak sebagai solusi yang baik, akan tetapi rehabilitasi
mangrove tidak selalu berhasil. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya bibit
yang akan ditanam, rendahnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam
penanaman mangrove serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya.
Belum lagi terjadinya laju abrasi yang terkadang lebih cepat daripada
pertumbuhan mangrove itu sendiri, sehingga bisa merusaknya. Oleh karena itu
biasanya dibangun pula tanggul penahan ombak.
Di pesisir pantai utara Jawa, di
mana 80 persen dari wilayahnya rusak, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan
Belanda meluncurkan program “Membangun Bersama Alam” (dulu bernama “Mangrove
Capital”). Program ini merupakan kombinasi dari restorasi mangrove dengan
teknik rekayasa keras seperti bendungan dan dinding laut.
Selain cara-cara di atas, beberapa cara berikut bisa
ditempuh sebagai upaya menyelamatkan/melestarikan wilayah pesisir di kota
Semarang, yaitu:
1. Membuat
kebijakan yang holistik, ramah lingkungan, dan mendukung pembangunan yang
berkelanjutan.
2. Mengukur
ulang batas-batas reklamasi yang telah disepakati, adakah pelanggaran yang
telah dilakukan?
3. Jika
mungkin, suatu saat nanti daerah yang telah direklamasi tersebut akan diambil
alih kembali oleh pemerintah/negara. Jika tidak, maka perusahaan yang telah
mereklamasinya-lah yang harus menanam mangrove di lahan yang dimilikinya
sekaligus merawat dan mempertahankannya.
4. Menghentikan
reklamasi pantai yang belum terjadi, mencegah agar pencemaran dan kerusakan
tidak terjadi, mencegah kerusakan yang telah terjadi agar tidak makin parah,
dan memperbaiki kerusakan yang sudah parah.
5. Membuat
jalur hijau, instalasi pengolahan limbah sederhana (Grease Trap), dan sabuk
pantai.
6. Membatasi
penggunaan/eksploitasi air tanah, mengawasi penggunaannya, dan menindak
pelanggarnya.
7. Menghemat
air.
8. Mensosialisasikan
hukum dan kebijakan yang terkait dengan pesisir sekaligus menindak tegas para
pelanggarnya, misalnya penerapan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
pengelolaan wilayah pesisir pasal 35 pasal g yang berisi larangan menebang mangrove
untuk kegiatan industri, pemukiman dan kegiatan lainnya dan sanksi pidana bagi
yang melanggar larangan tersebut dengan penjara paling singkat 2 (dua) tahun
paling lama 10 (sepuluh) tahun dengan denda paling sedikit 2 milyar paling
banyak 10 milyar.
9. Meskipun
sebagian besar pesisir sudah dikuasai oleh swasta, tetapi pemerintah membuat
suatu aturan bahwa pemerintah diperbolehkan untuk mengambil sampel-sampel air
di daerah pesisir setiap beberapa bulan sekali/meneliti biota yang ada di sana.
Tercemar atau tidak? Jika tercemar, tercemari oleh apa? Dan hal-hal semacam
itu.
10. Mewajibkan
semua pemilik lahan di pesisir agar limbahnya zero waste dan CSR-nya menyangkut
masalah yang menyinggung langsung kelestarian lingkungan di sana.
11. Untuk
mengatasi masalah karena pencemaran pesisir pemerintah bekerja sama dengan
National Oceanic and Atmospheric Administration dan The Environmental
Protection Agency (EPA) serta mengacu pada kongres yang dilakukan oleh The
Coastal Zone Act Reauthorization Amendments (CZARA) membuat “Program
Pengendalian Polusi Nonpoint Wilayah Pesisir Indonesia”. The Coastal Program
Nonpoint merupakan pendekatan komprehensif pada area yang tercemar. Bahwa semua
kegiatan penggunaan lahan di sekitar DAS dapat berdampak pada muara sungai,
pantai, sumber daya laut, dan laut. Program ini dibuat untuk meningkatkan
koordinasi pencegahan pencemaran dan berusaha untuk membangun kerja sama dengan
pihak lain untuk memfasilitasi pelaksanaan metode yang tepat untuk mengurangi
pencemaran sebelum masalahnya lebih besar.
12. Menjalankan
program Karbon Biru
Program ini bertujuan untuk
mengurangi emisi karbondioksida di bumi dengan menjaga keberadaan hutan
mangrove, padang lamun, dan rumput laut. Selain itu, program ini juga menjaga
keberadaan ekosistem pesisir, karena vegetasinya menyimpan karbon 100 kali
lebih permanen dibandingkan hutan di daratan.
Pelestarian mangrove, padang lamun,
dan terumbu karang dapat dilakukan melalui:
a. Penyuluhan
b. Peningkatan
status sosial masyarakat di sekitar pesisir laut
c. Pengukuran
luas hutan mangrove/rehabilitasi
d. Pemberian
kursus mengenai pengelolaan hutan mangrove
e. Pengawasan
dan penjagaan hutan mangrove
f. Penegakan
hukum
g. Konservasi
di pesisir
h. Zonasi
i. Rehabilitasi
terumbu karang: meningkatkan populasi karang, mengurangi alga yang hidup bebas,
dan meningkatkan ikan-ikan karang,
j.
Dan lain-lain.
Jika wilayah pesisir sudah bisa
diselamatkan, maka peluang untuk menjadikannya daerah wisata terbuka lebar.
Kemudian untuk meningkatkan potensi wisata mangrove di kota Semarang bisa
dibentuk kluster penganan (kerupuk, sirup, keripik, dan es cendol) dan batik
mangrove . Nantinya pemasarannya pun akan dikuatkan/didukung oleh pemerintah.
Dari seluruh upaya pelestarian
pesisir, hal yang paling utama adalah kesadaran dan kerja sama dari instansi
terkait, swasta, kalangan akademisi, serta masyarakat. Kesadaran bahwa
mangrove, terumbu karang dan lamun itu penting serta kesadaran bahwa pesisir
itu penting dan mempengaruhi masa depan kita. Dengan cara ini, membawa pesisir
Indonesia menjadi poros maritim dunia bukan cuma mimpi.
Melestarikan pesisir sama dengan
membuat alam tetap indah dan membuat kita nyaman untuk hidup berdampingan
dengan alam.
Semarang sebagai 100 Resilient Cities
Sumber: FB. Semarang Kota Tangguh-100 Resilient Cities
Dengan adanya gambaran Strategi
Ketahanan Kota yang tepat, kota Semarang dapat membawanya kepada 100RC (100 Resilient Cities Semarang) untuk:
1. Mendapatkan
dukungan melalui CRO yang akan memimpin penyusunan strategi ketahanan kota.
2. Mendapatkan
pendampingan dan dukungan melalui tim Mercy Corps Indonesia sebagai mitra
strategi.
3. Mendapatkan
akses terhadap sumber daya untuk pengembangan strategi dan implementasi ke
depannya.
4. Mendapatkan keanggotaan pada jaringan 100RC dalam skala
internasional untuk berbagi pengetahuan dan kolaborasi.
Dengan cara ini sekali merengkuh
dayung dua tiga pulau terlampaui. Kota Semarang bisa memperbaiki kondisi
pesisirnya, sekaligus bisa membantu memulihkan kondisi pesisir-pesisir lain di
Indonesia untuk memulihkan diri (menularkan ilmunya). Harapannya, ke depannya
mimpi Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia bisa tercapai.
Sumber: